Masjid Tua Tawangsari Tulungagung |
Sebelum kita mengungkap tentang sejarah desa perdikan yang berada didalam wilayah Kabupaten Tulungagung, maka untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih luas , para pembaca kami ajak meninjau sepintas lalu dalam garis besarnya tentang pengertian yang menyangkut persoalan tanah perdikan, sehingga dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan yang lebih positif dalam mengadakan penilaian selanjutnya.
ARTI KATA PERDIKAN
Nama "Perdikan" asalnya dari perkataan Sanskerta "Mahardika" artinya tuan, master, sieur.
Dalam buku Ramayana sebutan mahardika oleh para pendeta, diartikan bebas dari hidup lahir sebagai seorang kawula sudah dapat manunggal dengan Gustinya.
Akan tetapi dalam dunia yang fana ini banyak orang yang memakai kata merdika dalam pengertian "bebas untuk berbuat sekehendak hatinya".
ASAL DESA PERDIKAN
Desa perdikan sudah ada sejak dari jaman agama Hindu di Jawa.
Pada waktu itu oleh Raja telah diberikan anugerah kepada orang-orang atau desa-desa tertentu, berupa kebebasan dari membayar pajak atau melakukan wajib kerja terhadap Raja atau kepala daerah.
HAK-HAK DARI DESA PERDIKAN
Kepada orang-orang atau desa-desa tersebut diberi hak istimewa oleh Raja, misalnya hak untuk memakai songsong kebesaran, memakai warna yang ditentukan, dsb.
Pemberian hak atas tanah rupa-rupanya hanya untuk pembukaan hutan belukar, tidak menyangkut tanah-tanah pertanian.
Daerah perdikan itu langsung dibawah kekuasaan Raja, tidak dibawah Pangeran, Adipati, Bupati dll.
Raja berhak untuk merubah adanya hak-hak istimewa itu dan juga berhak untuk mencabutnya.
ALASAN MEMBERIKAN HAK
Yang biasanya menjadi alasan bagi Raja untuk memberikan hak-hak istimewa itu misalnya:
- Untuk memajukan agama.
- Untuk memelihara makam Raja-raja atau Bangsawan-bangsawan keturunannya.
- Untuk memelihara pertapaan, pesantren, langgar dan masjid ( di jaman Islam ).
- Untuk memberi ganjaran kepada orang atau desa yang berjasa kepada Raja umpamanya yang menunjukkan kesetiaannya kepada Raja pada saat yang genting.
Secara demikian maka pegawai tinggi yang berjasa pun diberi pula ganjaran. Oleh karena itu desa perdikan atau orang-orang yang dapat hak istimewa tadi tidak dibawah perintah kepala daerah.
Mereka politis termasuk orang penting bagi Raja, yaitu sebagai mata telinga Raja dalam daerah-daerah yang letaknya jauh dari pusat Kerajaan.
Desa perdikan dapat digolongkan menjadi dua:
- Pertama : Yang dibebaskan dari membayar pajak dan melakukan wajib kerja, dengan dibebankan kewajiban untuk memelihara makam, memelihara kepentingan agama dls.
- Kedua : Yang dibebaskan dari kewajiban-kewajiban terhadap Raja atau kepala daerah, dengan ketentuan bahwa kewajiban-kewajiban haruslah dijalankan guna kepentingan kepala desanya, yang dapat mempergunakannya sebagai keuntungan sendiri atau lain keperluan.
Adapun yang disebut "desa perdikan" terdiri dari empat macam, ialah :
- Desa Perdikan
- Desa Mutihan
- Desa Pakuncen
- Desa Mijen.
1. Desa Perdikan : adalah desa yang dibebaskan dari kekuasaan yang tertentu, dari suatu beban dan kewajiban-kewajiban, yang semua itu harus dipikul oleh rakyat didaerah biasa.
Istilah perdikan, bisa berlaku buat perseorangan dan dapat berlaku buat suatu daerah (desa) dengan semua penduduknya.
Apabila segenap penduduk desa dibebaskan dari membayar pajak dan dari melakukan wajib kerja buat Raja atau kepala diatas desa, maka desa itu dinamakan desa "Perdikan".
2. Desa Mutihan : Yang dinamakan desa mutihan ialah desa yang penduduknya terkenal sebagai orang alim, taat kepada pemerintah agama, yaitu beribadat berpuasa dalam bulan Ramadhan dan menjalankan perintah agama.
Mereka menjauhkan diri dari kesenangan-kesenangan lahir, juga dikenal dalam masyarakat Jawa, seperti pukul gamelan dirumahnya, joget, tayub, wayang dls. orang tadi disebut "PUTIH".
Dengan demikian maka guru agama dan santri-santri dibebaskan dari pembayaran pajak dan wajib kerja, atau kewajiban-kewajiban itu dialihkan untuk diberikan kepada kepala desa untuk kepentingan agama.
Begitulah maka di-ibu kota kabupaten dan dibanyak ibu kota kawedanan diadakan kampung mutihan, yang biasanya dinamakan kampung Kauman.
3. Desa Pakuncen : Istilah mutihan atau keputihan juga dipakai bagi mereka yang diwajibkan memelihara makam para bangsawan atau makam-makam yang dianggap keramat.
Orang-orang yang memikul kewajiban itu biasanya juga orang yang alim, setidak-tidaknya ia harus dapat membaca Qur'an dan hafal ayat-ayatnya, sebab ia dalam beberapa upacara harus dapat mengucapkan atau membaca do'a.
Nama penjaga dan pemelihara makam tersebut disebut pakuncen atau juru-kunci (dari perkataan kunci, yaitu kunci daripada rumah makam yang dimuliakan).
4. Desa Mijen : Istilah Mijen tidak lagi dipakai didaerah "Gouvernement". Perkataan Mijen asalnya dari istilah piji.
Dipiji (piniji) artinya di-istimewakan - terpilih dari yang lain-lain.
Didaerah Swapraja oleh Susuhunan telah diadakan desa Mijen untuk guru agama, yang sangat dicintainya.
KEWAJIBAN BAGI DESA PERDIKAN
Untuk memberi pembebasan pembayaran pajak atau wajib kerja kepada desa atau orang perdikan yang wajib di-ingat adalah sebagai berikut :
- Tanah yang dimiliki / penduduk desa perdikan dilain desa haruslah dikenakan pajak bumi.
- Pembebasan dari pajak penghasilan hanya berlaku bagi penduduk desa yang tetap, dan kalau penghasilannya didapat dari sesuatu perusahaan, maka yang dibebaskan hanyalah pajak penghasilan dari perusahaan yang tempatnya berada dalam wilayah desa perdikan saja.
- Pembebasan dari pajak rojokoyo hanya berlaku buat hewan milik penduduk desa perdikan yang tetap atau milik orang perdikan, yang dagingnya tidak untuk dijual.
- Siapa yang tergolong penduduk tetap dari desa perdikan ditentukan oleh kepala desa.
dengan resolusi pemerintahan Ned.Ind.ttgl. 24/5-1836 No: 12 ditetapkan bahwa apabila kepala desa perdikan meninggal dunia, untuk penggantinya harus diajukan calon-calon oleh pegawai pemerintah yang berkewajiban, terutama dari anak lelaki atau keturunan lainnya.
Jika ini tidak ada, maka pencalonan itu dipilih dari sanak saudara yang paling dekat atau dari para ulama yang terkemuka.
Dalam Regl. tentang pemilihan kepala desa (Stbl.1878 No. 47) ditetapkan, bahwa kepala desa perdikan diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jendral.
SEJARAH DESA PERDIKAN, TAWANGSARI, WINONG DAN MAJAN
Setelah sedikit banyak kita memiliki pengertian tentang kedudukan serta persoalan pokok mengenai tanah perdikan, maka marilah kita ikuti sejarah perkembangan tanah perdikan yang berada didalam wilayah Tulungagung.
Sejak jaman penjajahan Belanda, Tulungagung memiliki tiga desa perdikan ialah Tawangsari, Winong dan Majan. Desa-desa tersebut terletak ditepi sungai Ngrowo masuk wilayah Kecamatan Kedungwaru.
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih jelas mengenai asal usul desa tersebut, dibawah ini kami sajikan sedikit keterangan tentang satu dan lain hal yang ada hubungannya dengan pendirian serta perkembangannya.
Mula pertama tiga desa itu tergabung jadi satu, dapat digolongkan sebagai desa Mutihan, yang dipimpin oleh seorang Kiai bernama Abu Mansur.
Abu Mansur berasal dari Ponorogo, murid dari Kiai Basyariah.
Saudaranya laki-laki menjadi Biskal di Bangkalan Madura, sedang adiknya bernama Roro Mirah.
Pada masa itu yang menduduki tahta Kerajaan di Mataram adalah Paku Buwono ke-II (1742-1749).
Seorang dari permaisurinya adalah Roro Mirah adik dari pada Abu Mansur. Dengan demikian Abu Mansur termasuk ipar dari pada sang Raja.
Oleh sebab Abu Mansur mahir dalam bidang ke-agamaan maka ia mengajukan permohonan untuk mendirikan pesantren.
Tempat yang dipilihnya ialah desa Tawangsari yang terletak di dekat sungai Ngrowo. Desa tersebut pernah ditinjau oleh Raja, dan ditanyakan kenapa Kiai Mansur memilih daerah itu; karena mengingat letaknya, dikhawatirkan akan mudah dilanda banjir.
Tetapi Kiai Mansur berpendapat, justru tempat yang dekat dengan air itu memenuhi syarat untuk dijadikan tanah pertanian dan pesantren.
Pendirian masjid serta pesantren mendapat restu dari Raja. Kiai Mansur mendapatkan piagam, yang menyatakan Tawangsari dijadikan daerah perdikan dan diserahkan turun-temurun kepada Kiai Abu Mansur.
Disamping itu untuk keselamatan daerahnya Kiai Mansur diberi pinjaman pusaka Kraton yang bernama Kiai Banteng Wulung, tetapi bilamana sudah temurun kepada buyut, diharapkan agar pusaka tersebut dikembalikan ke Mataram.
Demikianlah secara singkat riwayat berdirinya desa perdikan Tawangsari. Lama kelamaan pesantren tersebut menjadi ramai, dan kemudian didirikan masjid lagi di Winong dan Majan dan masing-masing dipimpin oleh Kiai Ilyas dan Hasan Mimbar, putra dan cucu kemenakan dari Kiai Tawangsari.
Mulai saat itu Winong dan Majan dinyatakan berdiri sendiri dan dinyatakan pula menjadi desa perdikan hingga saat ini. Yang diberi wewenang untuk memimpin desa tersebut adalah kerabat dan keturunan dari kedua Kiai itu.
Kiai Hasan Mimbar adalah keturunan Patih Mataram P.A.Danurejo yang kawin dengan Kanjeng Ratu Angger putra putri dari Roro Mirah yang menjadi Permaisuri Raja.
Pada jaman Jepang pusaka dari Tawangsari dikembalikan ke Kraton oleh karena sudah sampai waktunya pada turun buyut.
Yang menyerahkan ke Jogja ialah Eyang Panji dari Desa Majan (ia ada hubungan keluarga dengan Haji Hasan Mimbar).
Pusaka tersebut diterima oleh Hamengku Buwono ke IX.
Konon menurut ceritanya waktu pusaka itu masih di Tulungagung, desa Tawangsari tidak pernah dilanda banjir besar.
Dalam usaha pembangunan alun-alun Tulungagung Kiai Abu Mansur juga tidak sedikit jasanya. Beliau yang mengerahkan tenaga untuk penyumbatan sumber air yang kemudian diatasnya ditanami pohon beringin.
Kiai Abu Mansur meninggal dunia di Mekkah ketika menunaikan ibadah Haji.
Ditulis ulang dengan ejaan baru dari buku "Tulungagung Dalam Rangkaian Sejarah Indonesia dan Babad"
Sejarah Desa Perdikan, Tawangsari, Winong dan Majan
Reviewed by Kombas
on
September 30, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: